Setiap daerah masing-masing punya karakteristik menyangkut suksesi
kep
emimpinan yang dihelat lima tahunan sekali. Termasuk di dalamnya,
bagaimana menyikapi budaya yang berkembang kental di sana, terutama,
bagi seseorang yang ingin meraih tahta sebagai seorang bupati.
Dan bagi para kandidat calon bupati (cabup) di kota berjuluk Bumi
Anglingdarma atau Kota Ledre seperti Kabupaten Bojonegoro, mesti
hati-hati pada simbol-simbol yang muncul jauh sebelum pesta itu sendiri
diputar. Sumber api abadi bernama Kahyangan Api, kerap dipercaya sebagai
pertanda siapa pewaris trah manakala yang bersangkutan bisa
‘menjinakkan’ nyala apinya.
Menjinakkan nyala api di sumber api abadi Kahyangan Api, tidak lantas
bermakna memadamkan nyala apinya. Tapi, lebih diartikan sebagai gerakan
menyatukan keinginan masyarakat yang dari waktu ke waktu terus
berkembang dan beragam aspirasinya. Namun, sesungguhnya hanya satu kata
yang diinginkan: jangan pernah berbohong dan mebohongi diri sendiri.
Akan tetapi, jangan sekali-kali seorang kandidat cabup melintas
jalanan Kahyangan Api yang dikelilingi rerimbunan hutan jati, bila
hatinya tak bersih. Seperti misalnya, menonjolkan sifat takabur dan cuma
ingi meraih kedudukan apalagi semata berniat mengumpulkan harta.
“Orang boleh mempercayainya atau tidak. Tapi, coba renungkan
bagaimana sikap para bupati pendahulu kita, ketika era kerajaan dulu.
Siapa yang waspada dan hati-hati, niscaya akan menggapai kemakmuran
bersama,” tutur Mbah Rujito, yang setiap hari malam pon kerap terlihat
duduk bersila di dekat perapian sumber api abadi Kahyangan Api.
Seperti diketahui, Kahyangan api adalah salah satu obyek pariwisata
yang ada di Kabupaten Bojonegoro. Sumber api yang tidak pernah kunjung
padam, yang terletak di kawasan hutan lindung, tepatnya berada pada Desa
Sendangharjo, Kecamatan Ngasem dikelilingi kabut misteri yang belum
terpecahkan hingga kini. Ada kepercayaan di kalangan pesinden dan
pedagang yang ingin meraih sukses untuk melakukan ritual di sana.
Kahyangan api, konon, adalah tempat bersemayamnya Mbah Kriyo Kusumo
atau Empu Supa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Pande yang
berasal dari Kerajaan Majapahit. Ada bukti historis yang penting yang
menguatkan kahyangan api dengan ditemukannnya 17 lempeng tembaga yang
berangka 1223 / 1301 Masehi.
Penemuan prassati di Desa Mayangrejo, Kecamatan Kalitidu pada tanggal
12 Maret 1992 tersebut, berbahasa jawa kuno yang menurut penelitian
berasal pada zaman Raja Majapahit I yakni, Kertarajasa Jaya Wardhana.
Isi dari prasasti tersebut, adalah pembebasan desa Adan-adan dari
kewajiban membayar pajak dan juga ditetapkannya daerah tersebut sebagai
sebuah sima perdikan atau swantantra.
Penghargaan Ini diberikan oleh Raden Wijaya terhadap salah satu
rajarsi (pungawa, red) atas jasa dan pengabdiannya yang besar terhadap
Kerajaan Majapahit saat itu. Dan rajarsi tersebut tidak lain adalah Empu
Supa yang lebih mashur deangan sebuatan Mbah Pande.
Sebelah barat sumber api terdapat kubangan lumpur yang berbau
belerang. Dan menurut kepercayaan masyarakat setempat, dikubangan itulah
Mbah Pande, melakukan aktivitas membuat alat-alat perang hingga alat
pertanian. Masyarakat sekitar menganggap keberadaan api abadi tersebut
keramat hingga-harus melakukan ritual jika, hendak mengambil pi
tersebut.
Menurut cerita, api tersebut hanya boleh diambil jika ada upacara
penting seperti yang telah dilakukan pada masa lalu, seperti upacara
Jumenengan Ngarsodalem Hamengku Buwono X dan untuk mengambil api melalui
suatu prasyarat yakni selamatan/wilujengan dan tayuban dengan gending
eling-eling, wani-wani dan gunungsari yang merupakan gending kesukaan
Mbah Kriyo Kusumo. Oleh sebab itu ketika gending tersebut dialunkan dan
ditarikan oleh waranggono (penembang lagu jawa, red) tidak boleh
ditemani oleh siapapun.
Kepercayaan tersebut, dipegang teguh oleh masyarak Bojonegoro. Ini
terbukti, pada acara ritual pengambilan api tersebut juga dilakukan
digelar. Terlebih, pengambilan api PON yang pertama dilakukan di pimpin
oleh tetua masyarakat yang dipercaya pada saat itu. Sementara untuk
prosesi tersebut meliputi, Asung sesaji (menyajikan sesaji) dan
dilanjutkan dengan tumpengan (selamatan).
Dari berbagai sumber cerita, maka kahyangan api yang letakya sekitar 25
km dari ibukota Bojonegoro dijadikan sebagai obyek wisata alam dan
dijadikan tempat untuk upacara penting yakni Hari Jadi Kabupaten
Bojonegoro, ruwatan masal dan Wisuda Waranggono.
Tempat wisata ini telah dibenahi dengan berbagai fasilitas seperti
pendopo, empat jajanan, jalan penghubung ke lokasi dan fasilitas
lainnya. Lokasi kahyangan api sangat baik untuk kegiatan sebagai
lokasi wisata alam bebas(outbound).
Dan pada hari-hari tertentu terutama pada hari Jum’at Pahing banyak
orang berdatangan di lokasi tersebut untuk maksud tertentu seperti agar
usahanya lancar, dapat jodoh, mendapat kedudukan dan bahkan ada yang
ingin mendapat pusaka. Acara tradisional masyarakat yang dilaksanakan
adalah Nyadranan (bersih desa) sebagai perwujudan terima kasih kepada
Yang Maha Kuasa.
Pengembangan wisata alam Kahyangan api diarahkan pada peningkatan
prasarana dan sarana transportasi, telekomunikasi dan akomodasi yang
memadai. Kunjungan ke obyek wisata Kahyangan api dapat dilanjutkan
perjalanan ke obyek wisata alam Watu Jago Bojonegoro. (lea)
Rabu, 03 April 2013
Sejarah Kayangan Api
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar