Senin, 13 Mei 2013

Kayangan Api, Wisata Bojonegoro

Kayangan Api, Wisata Bojonegoro

 
Objek wisata apa yang bisa ditawarkan Kabupaten Bojonegoro? Pertanyaan ini selalu muncul ketika menyinggung dunia wisata di Kabupaten Bojonegoro. Pasalnya, bicara potensi wisata di Jawa Timur, nama Bojonegoro seolah tidak masuk dalam perhitungan. Kabupaten Probolinggo dengan Gunung Bromo-nya, Bondowoso dengan Kawa Ijennya, Kabupaten Malang dengan Pantai Ngliyep dan Banyuwangi dengan Pantai Klungkung selama ini seakan menjadi primadona pariwisata di Jawa Timur.
Padahal Bojonegoro yang dikenal berhawa panas lantaran kandungan tanah kapurnya juga mempunyai objek wisata yang sebenarnya juga layak diperhitungkan lantaran masuk sebagai keajaiban alami Objek wisata tersebut adalah Kayangan Api. Lokasinya di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, atau sekitar 25 km dari Kota Bojonegoro. Dibanding objek-objek wisata lainnya yang dipunyai Kabupaten Bojonegoro, Kayangan Api yang paling bisa diandalkan. Kayangan Api memang mempunyai keistimewaan, setidaknya jika dibandingkan dengan objek-objek wisata lainnya di Jawa Timur, yaitu api abadi atau api yang tak kunjung padam. Dari celah-celah tumpukan batu menyembur api yang berwarna merah kekuning-kuningan, meliuk-liuk. Api ini tidak pernah padam meski diterjang hujan lebat atau ditiup badai sekencang apapun. Ditengarai api abadi ini terbesar se-Asia Tenggara.
Pada PON XV, api obor disulut di Kayangan Api, kemudian dibawa lari secara estafet ke GOR Delta Sidoarjo sebagai tempat dibukanya PON XV. Kayangan Api berada di tengah hutan jati milik Perhutani. Untuk mencapainya tidaklah mudah. Dari Jalan Raya Dander, wisatawan harus melalui jalan seluas kira-kira lima meter. Bagi yang membawa kendaraan sendiri tidak masalah, tetapi bagi wisatawan yang naik kendaraan umum harus berganti dengan ojek. Dari Jalan Raya Dander ongkosnya Rp25.000/motor, atau Rp25.000 dari terminal Bojonegoro.
Setelah melewati perkampungan barulah masuk hutan jati. Jalanan yang sedikit berkelok dengan kepungan pohon-pohon jati menimbulkan sensasi sendiri. Sayangnya, sejumlah ruas jalan menuju Kayangan Api banyak yang rusak lantaran kerap dilewati kendaraan-kendaraan berat pengeboran gas. Meski berada di tengah hutan, tetapi objek wisata ini tak pernah sepi pengunjung. Setiap hari ada saja wisatawan yang berkunjung, umumnya wisatawan domestik, baik dari Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Setiap pengunjung dikenai tanda masuk Rp1.500/orang. Namun kerap kali datang wisatawan berombongan. Umumnya kedatangan mereka berkaitan dengan ritual. Contohnya rombongan wisatawan dari Bali, yang datang ke Kayangan Api untuk melakukan ritual. Demikian juga pada malam-malam keramat menurut kalender Jawa banyak orang yang melakukan ritual.
Lah, lantas apa hubungannya Kayangan Api dengan ritual Jawa? Ini tidak terlepas dari cerita rakyat yang berkembang. Diceritakan oleh Juli (50), juru kunci, keberadaan Kayangan Api tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran Mpu Kriya Kusuma atau Mbah Supagati. Mbah Supagati ini pada zamannya termasuk pande besi yang handal. “Waktu itu Sunan Ampel diutus raja Majapahit untuk mencari pusaka di Desa Butha, Kecamatan Ngasem. Sunan Ampel mengumpulkan semua tukang pande besi, tapi Mbah Supagati tidak datang,” kata Juli.
Melihat Mbah Supagati tidak datang, Sunan Ampel segera menemui Mbah Supagati di rumahnya di Dukuh Karang Juwet (sekarang Dukuh Karang Pahing), Desa Sendangharja. Ketika Sunan Ampel datang Mbah Supagati sedang membuat alat pertanian Dapur Sengkelat. Sunan Ampel memarahi Mbah Supagati. Pada malam Jumat Pahing Mbah Supagati hijrah…
Penggalian Situs Kayangan Api, Diduga Pernah Berdiri Pura
Galian arkeologi di komplek Kayangan Api menyita perhatian wisatawan. Bekas galian ukuran 10 meter x 2,4 meter dan kedalaman 0,5 meter dan tumpukan batu bata ukuran lebar di kanan-kirinya itu berada sekitar 20 meter sebelah timur titik api abadi.
Syahdan, pada 2009 ada seorang warga setempat menemukan tumpukan batu bata terpendam di tanah, sepanjang setengah meter, sekitar 10 meter dari titik lokasi api abadi. “Karena temuan itu memiliki nilai sejarah, sudah kami laporkan kepada BP3 Trowulan untuk diadakan penggalian purbakala,” kata Kepala Bidang Pengembangan dan Pelestarian Budaya Dinas Pariwisata Bojonegoro, Saptatila, sebagaimana dikutip Antara.
Pada pertengahan Desember 2010, tim arkeolog Universitas Indonesia (UI), melakukan penggalian. Sesuai penelitian yang dipimpin Dr. Ali Akbar, arkeolog UI, kemungkinan tumpukan batu bata tersebut dulunya pura berukuran 40 meter x 40 meter. Sedangkan kedalamannya antara 1 meter hingga 3 meter lebih. Pura tersebut berdiri antara tahun 1400 hingga tahun l500-an. Penelitian dan penggalian dilakukan selama dua pekan di lokasi Kayangan Api Abadi, Desember 2010.
Kerangka bangunan berupa tumpukan batu bata merah ukuran besar ini adalah candi diperkuat beberapa ciri-ciri. Di antaranya bentuk ukuran batu bata, juga temuan pecahan gerabah. 

0 komentar: